A.
PERBANKAN
1.
Definisi
Perbankan
Perbankan adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan
proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Perbankan Indonesia dalam
menjalankan fungsinya berasaskan demokrasi ekonomi dan menggunakan prinsip
kehati-hatian. Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan
penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, kearah peningkatan
taraf hidup rakyat banyak. Perbankan memiliki kedudukan yang strategis, yakni
sebagai penunjang kelancaran sistem pembayaran, pelaksanaan kebijakan moneter
dan pencapaian stabilitas sistem keuangan, sehingga diperlukan perbankan yang
sehat, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
2.
Fungsi
Perbankan
Fungsi utama
perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat
serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan
stabilitas nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Perbankan
memiliki kedudukan yang strategis, yakni sebagai penunjang kelancaran sistem
pembayaran, pelaksanaan kebijakan moneter dan pencapaian stabilitas sistem
keuangan, sehingga diperlukan perbankan yang sehat, transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Fungsi Perbankan Menurut
Budisantoso (2006:9) secara lebih spesifik bank dapat berfungsi sebagai agent of trust, agent of development,
dan agent of services.
a.
Agent
of trust
Dasar utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan (trust), baik dalam
hal menghimpun dana maupun penyaluran dana. Masyarakat mau menitipkan dananya
di bank apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa
uangnya tidak akan disalahgunakan oleh bank, uangnya akan dikelola dengan baik,
bank tidak akan bangkrut , dan pada saat yang telah dijanjikan simpanan
tersebut dapat ditarik kembali dari bank. Pihak bank sendiri akan mau
menempatkan atau menyalurkan dananya pada debitur atau masyarakat apabila
dilandasi adanya unsur kepercayaan. Pihak bank percaya bahwa debitur tidak akan
menyalahgunakan pinjamannya, debitur akan mengelola dana pinjaman saat jatuh
tempo, dan debitur mempunyai niat baik untuk mengembalikan pinjaman beserta
kewajiban lainnya pada saat jatuh tempo.
b.
Agent
of Development
Kegiatan perekonomian masyarakat di sektor moneter dan di sektor riil
tidak dapat dipisahkan. Kedua sektor tersebut selalu berinteraksi dan saling
mempengaruhi. Sektor riil tidak akan dapat berkinerja dengan baik apabila
sektor moneter tidak bekerja dengan baik. Kegiatan bank berupa penghimpunan dan
penyaluran dana sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian di
sektor riil. Kegiatan bank tersebut memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan
investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi barang dan jasa,
mengingat bahwa kegiatan investasi-distribusi-konsumsi tidak dapat dilepaskan
dari adanya penggunaan uang. Kelancaran kegiatan investasi, distribusi, dan
konsumsi ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian suatu
masyarakat.
c.
Agent
of Service
Di samping
melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank juga memberikan
penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa ditawarkan bank ini
erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian secara luas. Jasa ini antara lain
dapat berupa jasa pengiriman uang, penitipan barang berharga, pemberian jaminan
bank, dan penyelesaian
A.
PERASURANSIAN DAN PERPAJAKAN
1.
Definisi
Perasuransian dan
Perpajakan
Asuransi atau pertanggungan adalah
Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga
yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang
tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal
atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Sesuai UU 42 tahun 2009 (UU PPN) jasa
asuransi termasuk dalam jasa tidak kena pajak (non JKP). Yang dimaksud dengan
jasa asuransi yang non JKP adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi
kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan
asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi
seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi dan konsultan asuransi. Dengan
demikian perusahaan asuransi tidak wajib dikukuhkan sebgai PKP. Sementara jasa
penunjang asuransi wajib dikukuhkan sebagai PKP kecuali yang memenuhi kriteria
perusahaan kecil.
2.
Jenis Usaha
Asuransi
a.
Asuransi Kerugian
Memberiken jasa dalam penanggulangan resiko atas kerugian, kehilangan
manfaat, dan tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, yang timbul dari
peristiwa yang tidak pasti.
b.
Asuransi Jiwa
Digunakan untuk memindahkan resiko, dimana apabila terjadi resiko
kematian pada seseorang maka ahli warisnya akan memperoleh sejumlah dana yang
disebut Uang Pertanggungan. Dalam industri asuransi jiwa di Indonesia saat ini,
dikenal jenis asuransi tradisional misalnya term life (asuransi jiwa
berjangka);whole life (asuransi jiwa seumur hidup), endowment (asuransi jiwa
tradisional dengan kombinasi tabungan), serta polis asuransi jiwa unit linked
atau investment linked. Asuransi jenis unit linked ini sangat populer dan
hampir semua perusahaan asuransi besar memiliki produk ini bahkan beberapa
perusahaan asuransi asing yang ada di Indonesia hanya menjual jenis unit linked
tanpa menjual produk asuransi tradisionil lainnya. Asuransi jiwa unit linked
selain memberikan manfaat proteksi asuransi jiwa, juga sekaligus memberikan
kesempatan untuk berpartisipasi secara langsung dalam investasi khususnya dalam
reksadana.
c.
Reasuransi
Memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap resiko yang dihadapi
oleh perusahaan asuransi kerugian dan atau perusahaan asuransi jiwa.
3.
Aspek Perpajakan
Asuransi
Secara umum,
penghitungan dan perlakuan perpajakan bagi asuransi sama dengan perusahaan
lainnya. Yang
menjadi dasar adalah Penghasilan Kena Pajak yang berasal dari pendapatan
setelah dikurangi biaya yang telah diperbolehkan. Namun karena karakteristik
asuransi yang berbeda dari bisnis lain, ada perlakuan pajak khusus untuk
beberapa hal sbb :
a.
Pendapatan
Pendapatan perusahaan asuransi berasal dari premi asuransi ( termasuk
premi asuransi bagi perusahan reasuransi ) yang diterima dari nasabah/
kliennya. Untuk premi asuransi yang dibayar sekaligus oleh pemegang polis
berkenaandengan periode pertanggungan yang lebih dari 1 tahun pengakuan
penghasilannya dikaitkan dengan metode pembukuan yang dianut wajib pajak :
1)
Apabila metode pembukuan yang digunakan wajib pajak adalah
stelsel akrual, makapengakuan penghasilan atas premi asuransi tersebit
dialokasikan secara proporsional ke tahun-tahun yang meliputi periode
pertanggungan tersebut
2)
Apabila metode pembukuan yang digunakan wajib pajak adalah
stelsel kas/stelsel campuran maka pengakuan penghasilannya adalah :
1)
Dalam hal premi asuransi tersebut diterima dimuka, maka
diakui pada saat premi tersebut diterima.
2)
Dalam hal premi asuransi diterima setelah masa
pertanggungan maka premi tersebut dialokasikan selama masa pertanggungan.
4.
Cadangan yang dapat
dibiayakan
Penghitungan
cadangan dibedakan sbb :
a.
Asuransi Kerugian
1)
Cadangan premi tanggungan sendiri
a)
Besarnya cadangan premi tanggungan adalah 40% dari jumlah
premi tanggungan sendiri yang diterima
b)
atau diperoleh dalam tahun pajak yang bersangkutan
c)
Cadangan premi tanggungan sendiri ini merupakan premi yang
sudah diterima atau diperoleh akan
d)
tetapi belum merupakan penghasilan pada tahun pajak yang
bersngkutan
e)
Cadangan premi tanggungan ini merupakan Penghasilan pada
tahun pajak berikutnya
2)
Klaim tanggungan sendiri untuk perusahaan asuransi kerugian :
a)
Besarnya cadangan klaim tanggungan sendiri adalah 100% dari
jumlah klaim yang sudah disepakati
b)
tetapi belum dibayar dan klaim yang sudah
c)
Dilaporkan dan sedang dalam proses, tetapi tidak termasuk
klaim yang belum dilaporkan
d)
Cadangan klaim tanggungan sendiri tersebut dibentuk pada
akhir tahun Pajak
e)
Jumlah klaim yang sebenarnya dibayar oleh perusahaan asuransi
kerugian dibebankan kepada
f)
perkiraan cadangan klaim tanggungan sendiri
b.
Cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa :
1)
Besarnya cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa
ditentukan sesuai dengan penghitungan aktuaria yang telah mendapat pengesahan
dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
2)
Kenaikan jumlah saldo akhir dibanding dengan saldo awal tahun
dari cadangan premi merupakan biayadalam tahun yang bersangkutan.
3)
Apabila terjadi pembayaran klaim kepada tertanggung jumlah
tersebut dibebankan kepada perkiraan cadangan premi.
ASPEK
HUKUM AGRARIA DALAM PEMBANGUNAN
A.
Definisi
Aspek Hukum Agraria dalam Pembangunan
Untuk mewujudkan hukum agraria nasional yang sesuai dengan
cita-cita bangsa Indonesia, maka dibuatlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA merupakan
undang-undang yang bersifat formal, yaitu hanya berisi asas-asas dan
pokok-pokok saja. Sedangkan peraturan pelaksanaannya akan diatur dalam
peraturan-perundang-undangan yang lain.2 Adapun
tujuan pokok dari UUPA adalah:
1.
Untuk
meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional;
2.
Menjadi
dasar dalam mewujudkan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
3.
Menjadi
dasar dalam mewujudkan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Sedangkan
dasar-dasar hukum agraria nasional yang diamanatkan dalam UUPA dapat kita
temukan dalam penjelasan UUPA yang berisi 10 poin utama, yaitu:
1.
Dasar kenasionalan yang dapat kita temukan dalam Pasal 1 ayat (1) dan
Pasal 1 ayat (2) UUPA. Dasar kenasionalan mengandung pengertian bahwa bumi, air
dan ruang angkasa yang terdapat di wilayah Republik Indonesia adalah hak
bersama dari seluruh warga Indonesia, bukan semata-mata hak dari pemiliknya
saja. Demikian pula dengan tanah ulayat bukan semata-mata menjadi hak dari
masyarakat adat di daerah tersebut, melainkan harus dipandang dari tingkatan
yang lebih tinggi, yaitu seluruh wilayah negara. Dasar kenasionalan ini
berlanjut pada Pasal 1 ayat (3) UUPA yang menentukan bahwa hubungan antara
bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa yang terdapat di wilayah
Republik Indonesia adalah bersifat abadi.
2.
Tidak diakuinya asas domein. Asas domein adalah asas yang
memandang semua tanah yang tidak dibuktikan haknya oleh orang lain merupakan
milik negara.5 Asas domein tidak diakui
dalam UUPA karena tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 33
ayat 3 Undang-Undang Dasar. Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar yang kemudian
dijabarkan dalam Pasal 2 ayat (1) lebih menghendaki agar negara yang merupakan
organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat menguasai (bukan memiliki) bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Bentuk dari
penguasaan tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.
b.
menentukan
dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang
angkasa itu.
c.
menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
3.
Diakuinya hak ulayat. Hal ini dapat kita temukan dalam Pasal 3 UUPA. Hak ulayat
adalah hak dari persekutuan hukum adat, untuk menggunakan dengan bebas
tanah-tanah yang masih merupakan hutan belukar di dalam lingkungan wilayahnya
guna kepentingan persekutuan hukum itu sendiri dan anggota-anggota atau guna
kepentingan orang-orang luar.7 Meskipun
UUPA mengakui keberadaan hak ulayat, namun hak ulayat tersebut harus:
a.
Sesuai
dengan kepentingan nasional dan negara;
b.
berdasarkan
atas persatuan bangsa;
c.
tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi.
4.
Fungsi sosial dari hak atas tanah. Penjabaran dari dasar ini dapat
kita temukan dalam Pasal 6 yang menentukan bahwa “Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial.” Maksud dari ketentuan tersebut adalah bahwa hak atas
tanah yang ada pada seseorang tidak boleh digunakan hanya semata-mata untuk
kepentingan pribadinya, terlebih apabila hal tersebut merugikan masyarakat.
Penggunaan hak atas tanah tersebut harus memberikan manfaat bagi pemiliknya,
masyarakat dan negara. Meskipun demikian, ketentuan ini bukan berarti
kepentingan pribadi akan terdesak oleh kepentingan umum. Melainkan harus
seimbang antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
5.
Hanya warganegara Indonesia yang dapat mempunyai hak
milik atas tanah (Pasal
9 jo. Pasal 21 ayat (1) UUPA). Sedangkan orang asing dan badan hukum tidak
boleh mempunyai hak milik atas tanah. Orang asing hanya boleh mempunyai tanah
hak pakai (Pasal 42 UUPA). Sedangkan badan hukum dipandang tidak perlu
mempunyai hak milik, tetapi cukup hak-hak lainnya. Meskipun demikian, terbuka
peluang bagi badan hukum tertentu untuk mempunyai hak milik (Pasal 21 ayat (2)
UUPA). Badan hukum-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 38 tahun 1963 adalah:
a.
Bank-bank
negara.
b.
Koperasi
pertanian.
c.
badan-badan
sosial.
d.
badan-badan
keagamaan.
6.
Asas kebangsaan, yang ditentukan dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA. Ketentuan ini
memberikan jaminan bagi seluruh warganegara Indonesia untuk memperoleh
kesempatan yang sama dalam memperoleh hak atas tanah. Asas ini bertujuan untuk
melindungi warganegara yang lemah dari segi ekonomi.
7.
Penyelenggaraan landreform, yakni tanah pertanian harus
dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri.
Penyelenggaraan landreform diwujudkan melalui penentuan luas minimum yang harus
dimiliki oleh orang tani, sehingga ia memperoleh penghasilan yang cukup untuk
hidup layak bagi dirinya dan keluarganya (Pasal 13 jo. Pasal 17 UUPA). Selain
itu juga ditentukan batas maksimum luas tanah yang boleh dipunyai dengan hak
milik (Pasal 17 UUPA) tuntuk mencegah penumpukan tanah di tangan
golongan-golongan tertentu.
8.
Perencanaan (planning) mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi,
air dan ruang angkasa untuk kepentingan hidup rakyat dan negara. Perencanaan
tersebut dibagi menjadi rencana umum (national planning) yang meliputi seluruh
wilayah Indonesia dan rencana khusus (regional planning) yang merupakan
penjabaran dari rencana umum yang diterapkan di daerah-daerah.
9.
Kesatuan dan kesederhanaan hukum agraria, yakni sebuah upaya untuk menghapus
dualisme hukum agraria yang diatur dalam hukum adat dan hukum barat. Hal ini
diwujudkan dengan penyusunan hukum agraria yang berpedoman pada hukum adat yang
disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang
modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan
dengan sosialisme Indonesia. Hukum adat dipilih karena sebagian besar rakyat
Indonesia tunduk pada hukum adat.10
10.
Kepastian hukum, yakni para pemegang hak harus memperoleh kepastian
mengenai haknya dan adanya instruksi yang jelas bagi pemerintah. Hal ini
diwujudkan melalui penyelenggaraan pendaftaran tanah yang bersifat
rechts-kadaster, sehingga dapat menjamin terwujudnya kepastian hukum.
B.
Stuktur
Agraria dalam Pembangunan
1.
Pengertian
Tanah
Pengertian tanah diatur
dalam pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut. Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal
2 ditentukan adanya macam – macam ha katas permukaan bumi, yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang – orang baik maupun bersama
– sama dengan orang lain serta badan – badan hukum.
Oleh karena itu, hak –
hak yang timbul diatas hak atas bangunan atau benda – benda yang terdapat
diatasnya merupakan suatu persoalan hukum. Persoalan hukum yang dimaksud adalah
persoalan yang berkaitan dengan dianutnya asas – asas yang berkaitan dengan
hubungan antara tanah dengan tanaman dan bangunan yang terdapat diatasnya.
a)
Asas Perlekatan Horizontal (Horizontale accessie beginsel)
Didalam
KUH Perdata yang merupakan induk dari ketentuan hokum yang mengatur hubungan
secara pribadi atau perdata, dianut asas perlekatan, yaitu asas yang melekatkan
suatu benda pada benda pokoknya.
Lebih tegas lagi asas asesi dapat
ditemukan dalam rumusan pasal 504 dan pasal 507 KUH Perdata, yaitu dalam
perumusan benda tidak bergerak dimana disebutkan bahwa perlekatan dari suatu
benda bergerak yang tertancap dan terpaku pada benda tidak bergerak, secara
yuridis harus dianggap sebagai benda tidak bergerak pula.
Beranjak
dari asas asesi perlekatan diatas, maka dalam KUH Perdata yang merupakan buatan
Belanda, selain asas perlekatan horizontal yang diatur dalam pasal 589 dan
pasal 588 KUH Perdata juga diatur dalam pasal 500 KUH Perdata.
Dalam
KUH Perdata selain dikenal asas perlekatan yang bersifat horizontal, dikenal
pula asas perlekatan yang veritikal. Hal ini diatur dalam pasal 571 KUH
Perdata. Dalam pasal 571 KUH Perdata dinyatakan bahwa hak milik atas sebidang
tanah meliputi hak milik atas segala sesuatu yang ada diatasnya dan didalam
tanah itu. Bertitik tolak dari ketentuan pasal 572 KUH Perdata diatas jelaslah
bahwa semua benda yang terdapat diatas tanah (tambang) termasuk si pemilik
tanah tersebut.
b)
Asas pemisahan horizontal ( horizontal
scheiding)
Berlainan dengan asas yang terdapat
pada negara – negara yang mengunakan asas perlekatan, hukum tanah yang dianut
oleh UUPA bertumpu pada hukum adat, dimana tidak mengenal asas “ pemisahan
horizontal ‘’ dimana hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan
bangunan dan tanaman yang diatasnya.
2.
Sumber
Hukum Tanah Indonesia
Sumber hukum tanah
Indonesia, yang lebih identic dikenal pada saat ini yaitu status tanah dan
riwayat tanah. Status tanah atau riwayat tanah merupakan kronologis masalah
kepemilikan dan penguasaan tanah baik pada masa lampau, masa kini maupun masa
yang akan datang. Status tanah atau riwayat tanah, pada saat ini dikenal dengan
Surat Keterangan Penfdaftran Tanah (SKPT) untuk tanah – tanah bekas hak – hak
barat dan hak – hak lainnya.
a.
Hukum Tanah Adat
Semula hukum adat di Indonesia hanya
ditemukan berdasarkan symbol – symbol. Sementara itu hokum adat mencerminkan
kultur tradisional dan aspirasi mayoritas rakyatnya. Sementara di Indonesia, hokum agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat dimana sendi – sendi
dari hokum tersebut berasal dari masyarakat hukum adat setempat, sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, dan negara yang berdasarkan
persatuan bangsa dan sosialisme indonesia.
b.
Hak
Atas Tanah Menurut Uupa
Pada pasal 33 ayat (1) UUD 1945, dikatakan bahwa “bumi air dan ruang yang terkandung didalamnya
itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara”. Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Hak menguasai dari Negara termaksud dalam
UUPA (pasal 1 ayat 2) memberi wewenang kepada negara untuk mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut, menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa. Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam
pasal 2 adanya macam-macam hak atas permukaan
bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang orang baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan
hukum (UUPA, pasal 4 ayat 1). pasal ini memberi
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh
bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan
yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu
dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
3.
Jenis
jenis Hak Atas Tanah
a.
Hak Milik
1)
Hak milik adalah hak turun-temurun,terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah
2)
Hak
milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
3)
Hanya
warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
4)
Oleh
Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya
(bank Negara, perkumpulan koperasi pertanian, badan keagamaan dan badan social)
5)
Terjadinya
hak milik, karena hukum adat dan Penetapan Pemerintah, serta karena ketentuan
undang-undang
6)
Hak
milik, setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak lain, harus
didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat. Pendaftaran dimaksud merupakan
pembuktian yang kuat.
b.
Hak Guna Usaha
1)
Adalah
hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, guna
perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan dengan jangka waktu 35 tahun
dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Sesudah jangka
waktu dan perpanjangannya berakhir ke pemegang hak dapat diberikan pembaharuan
Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama.
2)
Diberikan
paling sedikit luasnya 5 hektar, jika lebih dari 25 hektar harus dikelola
dengan investasi modal yang layak dnegan teknik perusahaan yang baik sesuai
dengan perkembangan zaman.
3)
Hak
guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain
4)
Hak
Guna Usaha dapat dipunyai warga negara Indonesia, dan Badan Hukum yang
didirikan berdasarkan Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
5)
Tanah
yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah Tanah Negara
6)
Hak
Guna Usaha terjadi karena penetapan Pemerintah
7)
Hak
Guna Usaha setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak lain, harus
didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat. Pendaftaran dimaksud merupakan
pembuktian yang kuat
8)
Hak
Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan
c.
Hak Guna Bangunan
1)
Hak
guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas
tanah yang bukan miliknya sendiri, yang dapat berupa tanah Negara, tanah hak
pengelolaan, tanah hak milik orang lain dengan jangka waktu paling lama 30
tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Setelah berakhir jangka
waktu dan perpanjangannya dapat diberikan pembaharuan baru Hak Guna Bangunan di
atas tanah yang sama.
2)
Hak
guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
3)
Hak
Guna Bangunan dapat dipunyai warga negara Indonesia, dan Badan Hukum yang
didirikan berdasarkan Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
4)
Hak
Guna Bangunan terjadi karena penetapan Pemerintah
5)
Hak
Guna Bangunan setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak lain,
harus didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat. Pendaftaran dimaksud merupakan
pembuktian yang kuat
6)
Hak
Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan
d.
Hak Pakai
1)
Hak
pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban
yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya
oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian
dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah, segala
sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
Undang-undang
2)
Hak
pakai dapat diberikan :
a)
Selama
jangka waktu yang tertentu atau selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu;
b)
Dengan
cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.
c)
Pemberian
hak pakai tidak boleh disertai
syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
3)
Yang
dapat mempunyai hak pakai ialah :
a)
Warga
negara Indonesia
b)
Orang
asing yang berkedudukan di Indonesia
c)
Badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
d)
Badan
hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
4)
Sepanjang
mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat
dialihkan kepada pihak lain dengan izin penjabat yang berwenang.
5)
Hak
pakai atas tanah milik hanya dapat
dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu
dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
e.
Hak Sewa
1)
Seseorang
atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah mempergunakan
tanah milik orang lain untuk keperluan
bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
2)
Pembayaran
uang sewa dapat dilakukan:
a)
Satu
kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu;
b)
Sebelum
atau sesudah tanahnya dipergunakan.
c)
Perjanjian
sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal
ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung
unsur-unsur pemerasan.
3)
Yang
dapat menjadi pemegang hak sewa ialah :
a)
Warganegara
Indonesia;
b)
Orang
asing yang berkedudukan di Indonesia;
c)
Badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d)
Badan
hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
f.
Hak Membuka Tanah Dan Memungut Hasil Hutan
1)
Hak
membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warganegara
Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2)
Dengan
mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya
diperoleh hak milik atas tanah itu.
Peralihan
hak atas tanah dapat terjadi karena:
a)
Jual
beli
b)
Tukar
menukar
c)
Penyertaan
dalam modal
d)
Hibah
e)
Pewarisan
Hapusnya
hak atas tanah:
a)
Jangka
waktu yang berakhir
b)
Dibatalkan
sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat yang tidak dipenuhi
c)
Dilepaskan
secara sukarela oleh pemegan haknya sebelum jangka waktunya berakhir
d) Dicabut untuk kepentingan umum
e)
Diterlantarkan
f)
Tanahnya
musnah
g)
Beralih ke warganegara asing (khusus
Hak Milik) atau badan hukum asing (khusus HGU dan HGB)
PENATAAN
RUANG
A.
Definisi Penataan Ruang
Pada dasarnya konsep penataan ruang wilayah adalah untuk
pemanfaatan pembangunan yang harus mengacu pada beberapa aspek seperti,
keamanan, kenyamanan, produktifitas serta dapat bermanfaat secara luas bagi
semua lapisan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan konsep penggunaan ruang ini
bukan hanya untuk hari ini dan tahun depan saja tapi untuk generasi dimasa
depan.
Indonesia menyusun Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang
Penataan Ruang, yang akhirnya undang-undang tersebut disahkan dan berlaku.
Namun seiring dengan adanya perubahan terhadap paradigma otonomi daerah melalui
ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka
ketentuan mengenai penataan ruang mengalami perubahan yang ditandai dengan
digantikanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, menjadi
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Penataan ruang khusus untuk perkotaan sebenarnya sudah
dimulai sejak zaman Belanda. Setelah kemerdekaan, ada pengaturan baru sejak
tahun 1985 berupa Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Pekerjaan Umum dalam perencanaan kota. Sesuai dengan Surat Keputusan Bersama
tersebut Departemen Dalam Negeri bertangggung jawab di bidang administrasi
perencanaan kota, sedangkan Departemen Pekerjaan Umum bertanggung jawab di
bidang teknik (tata ruang) kota.
Atas dasar pembagian wewenang itu, Menteri Pekerjaan
Umum mengeluarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 640/KPTS/1986 tentang
Perencanaan Tata Ruang Kota, dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Kota.
Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) adalah suatu rencana
pemanfaatan ruang kota, yang berisikan rencana pembangunan kota yang terkait
dengan ruang, sehingga tercapai tata ruang kota yang dituju dalam kurun waktu
tertentu dimasa yang akan datang. Rencana program pembangunan kota disusun
untuk 20 tahun ke depan dan dibagi dalam tahapan lima
tahanan. Dalam hal ini, harus dipadukan pendekatan
sektoral dan pendekatan regional (ruang), sesuai dengan keputusan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, terdapat
4 (empat) tingkatan rencana tata ruang kota, yaitu sebagai berikut :
1.
Rencana
umum tata ruang perkotaan, yaitu menggambarkan posisi kota yang direncanakan
terhadap kota lain secara nasional dan hubungannya dengan wilayah belakangnya;
2.
Rencana
umum tata ruang kota, yaitu menggambarkan pemanfaatan ruang kota secara
keseluruhan;
3.
Rencana
detail tata ruang kota, yaitu menggambarkan pemanfaatan ruang kota secara lebih
rinci; dan
4.
Rencana
teknik ruang kota, yaitu menggambarkan rencana geometri pemanfaatan ruang kota
sehingga sudah bisa menjadi pedoman dalam penentuan sait (site)
pembangunan/konstruksi kota.
Selanjutnya, sesuai dengan keputusan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, Rencana Umum Tata Ruang
Kota (RUTRK) setidaknya harus berisikan hal-hal sebagai berikut :
1.
Kebijaksanaan
pengembangan penduduk kota;
2.
Rencana
pemanfaatan ruang kota;
3.
Rencana
struktur pelayanan kegiatan kota;
4.
Rencana
sistem transportasi;
5.
Rencana
sistem jaringan utilitas kota;
6.
Rencana
kepadatan bangunan;
7.
Rencana
ketinggian bangunan;
8.
Rencana
pemanfaatan air baku;
9.
Rencana
penanganan lingkungan kota;
10.
Tahapan
pelaksanaan bangunan; dan
11.
Indikasi
unit pelayanan kota
Kebijaksanaan pengembangan penduduk kota berkaitan dengan
jumlah penduduk dan kepadatan penduduk pada setiap bagian wilayah kota. Jumlah
penduduk untuk keseluruhan kota harus diproyeksikan dengan memperhatikan trend
masa lalu dan adanya berbagai perubahan ataupun usaha/kegiatan yang dapat
membuat laju pertambahan penduduk dapat lebih cepat atau lebih lambat dari masa
lalu.
Rencana struktur/pemanfaatan kota adalah perencanaan bentuk
kota dan penentuan berbagai kawasan di dalam kota serta hubungan hierarki
antara berbagai kawasan tersebut. Bentuk kota tidak terlepas dari sejarah
perkembangan kota, namun sedikit banyak dapat diarahkan melalui penyediaan
fasilitas/prasarana dan penetapan berbagai ketentuan yang berkaitan dengan tata
guna lahan, sedangkan Rencana struktur pelayanan kegiatan kota menggambarkan
hierarki fungsi kegiatan sejenis di perkotaan.
CARA-CARA PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PENYELENGGARAAN
KONSTRUKSI
A.
Definisi Penyelesaian Sengketa dalam
Penyelenggaraan Konstruksi
Konstruksi adalah salah satu
industri yang sangat kompleks, hal ini karena dalam proyek konstruksi terdapat
multi disiplin ilmu dan berurusan dengan orang banyak yang memiliki kepentingan
masing-masing. Kondisi ini pula yang membuka peluang sengketa menjadi lebih
besar.
Apabila merujuk kepada data
statistik yang dikeluarkan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),
dimana sengketa kontruksi mendominasi kasus yang ditangani oleh BANI. Mulai
periode tahun 1999 hingga 2016, tercatat terdapat 470 kasus, dimana kasus
konstruksi mendominasi sebesar 30, 8 % dari total kasus yang ditangani oleh
BANI.
Pada rezim Undang-Undang No.18 Tahun
1999 tentang Jasa Konstruksi, mekanisme penyelesaian sengketa konstruksi
tersedia melalui 2 (dua) jalur, yakni jalur pengadilan dan di luar jalur
pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan dapat
ditempuh untuk masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan pengikatan dan
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dan dalam hal terjadi kegagalan bangunan.
Serta tidak tidak berlaku terhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi. Jenis penyelesaian melalui jalur di luar pengadilan yang
dimaksud dalam UU Jasa Konstruksi 1999 antara lain arbitrase, baik berupa
lembaga atau ad-hoc yang bersifat nasional maupun internasional, mediasi,
konsiliasi atau penilai ahli.
Sementara itu, dalam
Undang-Undang No.2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, sebagai pengganti UU
Jasa Konstruksi 1999, penyelesaian sengketa yang timbul dari Kontrak Kerja
Konstruksi diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat. Dalam hal para pihak
yang bersengketa tidak menemukan kesepakatan, maka penyelesaian sengketa
ditempuh melalui tahapan upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam
Kontrak Kerja Konstruksi atau dalam hal tidak tercantum dalam Kontrak Kerja
Konstruksi, para pihak bersengketa membuat suatu persetujuan tertulis mengenai
tata acara penyelesaian sengketa yang akan dipilih.
Adapun tahapan-tahapan penyelesaian
sengketa sesuai UU No. 2/2017 adalah:
1.
Para
pihak yang bersengketa terlebih dahulu melakukan musyawarah untuk mufakat;
2.
Apabila
musyawarah tersebut tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa disesuaikan
berdasarkan kontrak kerja konstruksi;
3.
Apabila
penyelesaian sengketa tercantum dalam kontrak, maka penyelesaian sengketa
ditempuh melalui tahapan sebagai berikut:
4.
Mediasi;
5.
Konsiliasi,
dan;
6.
Arbitrase
7.
Jika
penyelesain sengketa tidak tercantum dalam kontrak kerja konstruksi, maka para
pihak yang bersengketa membuat tata cara penyelesaian yang dipilih.
B.
Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Konstruksi
Mekanisme penyelesaian sengketa
konstruksi diantara para pihak lebih menekankan penyelesaian di luar jalur
pengadilan. Hal ini tidak terlepas dari keunggulan arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa, dimana setidaknya terdapat beberapa keunggulan, yaitu:
1.
Kerahasiaan Sengketa.
Kerahasiaan merupakan salah satu keunggulan dari mekanisme
penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan, baik pada saat proses maupun
terhadap putusan yang tidak dipublikasikan. Mengingat konstruksi terkait dengan
banyak proses yang mana tidak seluruhnya dapat dibuka untuk umum, terutama
apabila bangunan yang menjadi obyek sengketa termasuk dalam objek vital negara.
Selain itu, diperlukan untuk menjaga hubungan baik di antara para pihak,
mengingat pelaku usaha dalam bidang jasa konstruksi adalah terbatas.
2.
Memilih Pihak Penengah
(Mediator/Konsiliator/Arbitrator) yang Memiliki Keahlian di Bidang Konstruksi.
Menurut Hellard (1987), sengketa konstruksi dapat dibagi
menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:
a.
Sengketa
berkaitan dengan waktu (keterlambatan progress);
b.
Sengketa
berkaitan dengan finansial (klaim dan pembayaran);
c.
Sengketa
berkaitan dengan standar pekerjaan (desain dan hasil pekerjaan);
d.
Konflik
hubungan dengan orang-orang di dalam industri konstruksi.
Pada umumnya sengketa-sengketa tersebut atas akan berkaitan,
baik secara langsung maupun tidak langsung dengan hal-hal bersifat teknis. Pada
dasarnya Kontrak Kerja konstruksi merupakan kontrak yang bersifat khusus yang
mana memuat banyak aspek teknis.Sebagai contoh, sengketa berkaitan dengan
pembayaran dengan sistem prosentase progress pekerjaan
sebagai syarat pembayaran, tentunya memerlukan aspek teknik terkait dengan
penentuan progress pekerjaan yang dapat
diklaim. Dengan demikian, dalam penyelesaian sengketa konstruksi, tidak saja
dibutuhkan ahli hukum, namun diperlukan ahli pada disiplin ilmu lain, terutama
aspek teknis, untuk memahami akar permasalahan.
3.
Jangka Waktu Penyelesaian Sengketa Jelas dan Relatif
Singkat.
Walaupun perihal jangka waktu
penyelesaian sengketa relatif singkat sebagai keunggulan dari mekanisme
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (arbitrase) menurut Undang-Undang
No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak
selalu terjadi karena di beberapa negara penyelesaian melalui jalur litigasi
dapat ditempuh dengan waktu yang relatif singkat, namun saat ini harus diakui
bahwa jalur litigasi memakan waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan jalur
di luar litigasi. Jangka waktu penyelesaian sengketa yang singkat tentu lebih
menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa, karena dapat segera memperoleh
kepastian mengenai penyelesaian atas sengketa yang sedang terjadi. Bagi pelaku
usaha konstruksi, berlaku pula hal demikian karena sengketa konstruksi akan
berkaitan dengan banyak hal seperti namun tidak terbatas pada kelangsungan
pekerjaan, pengalihan bangunan, penggunaan bangunan oleh pengguna jasa,
kepastian pembayaran. Khusus bagi penyedia jasa, sengketa yang berlarut-larut
dapat menghambat keterlibatan penyedia jasa pada tender-tender proyek yang
diselenggarakan oleh pengguna jasa yang sedang bersengketa.
Di samping ketiga hal tersebut di
atas, sejalan dengan upaya Pemerintah untuk menarik investor asing untuk
menanamkan modalnya di Indonesia, termasuk melalui sektor konstruksi, maka
dalam pengikatan kontrak-kontrak internasional, dalam pengalaman penulis,
penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan lebih diminati.
Sumber:
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria